Menjalani pernikahan tidaklah semanis dan semudah yang kita bayangkan. Semulus-mulusnya jalan yang kita tempuh ada-ada saja kerikil yang menghadang bahkan ombak besar berusaha mengoyah layar yang awalnya terbentang.
Cinta yang menggebu-gebu pada awal pernikahan lama kelaman akan berubah menjadi cinta yang penuh tanggung jawab. Manisnya madu cinta di awal pernikahan tak jarang hanya terasa sekejap saja hingga bumbu-bumbu cemburu, keletihan hingga kejenuhan dengan pasangan membaur membuat pernikahan kandas.
Kadang perihal orang ketiga dan ekonomi hanyalah pemicu rusaknya rumah tangga. Penyebab awalnya adalah ketidakmampuan memenuhi harapan masing-masing yang akhirnya membuat tanggung jawab terasa berat. Timbullah perasaan tidak bangga terhadap pasangan. Kekurangan yang awalnya bisa diterima entah kenapa muncul sebagai suatu hal yang tidak mengenakkan.
Fisik Pasangan
Saat memutuskan untuk menikah, sedikit banyak kedua belah pihak telah saling berkenalan dan menyampaikan perihal fisik masing-masing. Seiiring berjalannya waktu kekurangan fisik itu ada yang membuat beberapa pasangan malu. Misalnya suaminya pendek dan berkulit gelap, atau tubuh istri yang tambun sehingga tidak menarik lagi. Pertanyaannya kenapa perihal fisik baru dipertanyakan setelah menikah? Menyebalkan bukan. Meminta pasangan untuk lebih baik memang tidak ada salahnya, tetapi memaksakan kehendak agar terlihat serasi bukanlah penyelesaian yang baik.
Misalkan suami ingin melihat istrinya lebih menarik di rumah maka belikanlah baju daster wanita yang baru untuknya sehingga baju daster lama yang mulai robek bisa disimpan. Atau sisihkanlah waktu agar istri bisa beristirahat dan memanjakan diri dengan bergantian menjaga anak.
Begitupula istri jika berharap suami berpenampilan bersih dan rapi maka perhatikanlah pakaian yang ia kenakan. Sudah dicuci bersihkah? Sudah disetrika kah?
Baca Juga Jomblo Bukan Alasan Untuk Tidak Bahagia
Status Pendidikan dan Pekerjaan
Banyak pasangan yang bisa langgeng pernikahannya walau punya status pendidikan yang berbeda. Namun ada pula yang rumah tangganya berantakan karena status pendidikan dan pekerjaan. Suami atau Istri merasa malu untuk mengajak pasangannya bertemu relasi kerjanya. Dianggap tidak akan nyambung jika diajak bercerita dengannya atau koleganya karena status pendidikan yang lebih rendah.
Begitupun dengan pekerjaan. Beberapa pasangan merasa malu karena pasangannya tidak bekerja. Lalu timbullah rasa tidak bangga dan merendahkan pasangan.
Hal-hal di atas hanyalah sebagian dari permasalah yang seringkali menimbulkan perasaan tidak bangga terhadap pasangan. Padahal menikah bukanlah tentang hari ini saja, banyak hari yang akan dijalani bersama pasangan dan berharap akan bersama hingga maut memisahkan.
Jika ada perasaan tidak bangga…
Ingatlah hal-hal kecil yang membuat kita jatuh cinta pada suami, pada istri kita di rumah. Ingatlah bagaimana hati kita luluh dengan kebaikannya tanpa mempedulikan hidungnya, warna rambutnya, apalagi perubahan fisiknya karena berkorban untuk keluarga.
Ingatlah bahwa kita sangat membutuhkannya. Jangan sia-siakan dan sakiti kekasih hati karena keegoan diri sendiri karena dia adalah bagian terdalam dari hidup kita.
Tunjukkan bahwa kita bangga memilikinya. Entahkah itu bergandengan tangan, tersenyum melihatnya, merangkul dan lainnya. Bukan bermaksud untuk pamer, tapi hanya sebagai pembuktian bahwa kita bahagia memilikinya. Ajaklah ia bertemu dengan sahabatmu, rekan kerjamu, atau keluargamu agar ia merasa berharga dimatamu.
Yuk hilangkan semua rasa tidak bangga terhadap pasangan.
Lihatlah matanya dalam-dalam, ada cinta yang penuh untukmu.