A mother is she who can take the place of oll others, but whose place no one else can take

Orang-orang memanggilnya “Elok”. Wanita itu hanya mengenakan kaos biasa dan celana pendek seadanya. Rambutnya yang mulai beruban dibiarkan begitu saja diikat ke belakang tanpa tersentuh pewarna. Berbedak tak sempat apalagi mengoleskan lipstik di bibirnya.

Sebelum subuh tiba, ia sudah berjibaku dengan dinginnya angin yang menerpa kulitnya yang tak lagi kencang. Membiarkan tubuhnya menggigil demi mendapatkan dagangan yang akan ia jual kembali di warung depan rumahnya. Dia hanyalah penjual sayur di warung kelontongan rumah kami, mendidikasikan hidupnya demi mencukupi penghasilan ayah yang sering tak cukup. Dia Ibu saya, dari rahimnyalah saya lahir.

Puluhan tahun saya hidup dengannya, ia tetap sosok wanita galak yang suka mengomel. Seringkali mencubit saat saya melakukan kesalahan di masa kecil, jarang memuji walaupun banyak prestasi yang saya torehkan, memarahi saya jika tidak bisa menjaga adik dengan baik dan terlalu sibuk untuk sekedar membacakan dongeng jika saya ingin tidur dipelukannya. Dulu ketika sedih jika dimarahi, seringkali saya berkata bahwa saya bukan anak kandungnya, ada keegoisan dalam diri yang membuat saya menganggap bahwa saya anak kurang beruntung karena lahir di tengah keluarga yang sering kekurangan. Sekarang, saya menyesal pernah berfikir sepicik itu, dengan bangga saya katakan bahwa saya anak paling beruntung karena perempuan galak itu adalah ibu saya.

Masih tak lekang dari ingatan bagaimana paniknya ibu saat saya harus terbaring lemah karena tersiram air panas. Disitu saya merasakan kehadiran Ibu sangat berarti. Hampir dua bulan ibu menjadi tangan dan kaki saya yang menyiapkan segala kebutuhan, makan, hingga menampung kotoran karena saya tidak bisa berjalan walaupun ia juga harus sibuk dengan dagangan dan urusan rumah lainnya. Pernah suatu waktu saya putus asa melihat luka bakar di kaki saya itu yang tak kunjung membaik. Saya berkata bahwa saya seperti ingin mati saja. Tak banyak kata yang ia ucap, hanya dekapan hangat dan air matanya yang meleleh. Sayapun menangis sejadi-jadinya, hampir saja saya lupa bahwa saya punya malaikat baik hati yang dikirim Allah untuk mendampingi saya, dia perempuan yang sering saya sakiti hatinya. Dia adalah Ibu.

Ibu memang tak pernah mengucapkan kata cinta, kata sayang atau memberikan suprise layaknya yang ditayangkan di film-film, tapi kasih sayangnya telah memenuhi hati dan pikiran saya serta keluarga. Tak perduli sindiran orang soal cita-cita Ibu untuk menyekolahkan saya dan ketiga adik hingga sarjana. Ibu selalu percaya bahwa kerja kerasnya bersama ayah disertai do’a yang tak pernah putus untuk anak-anaknya, cepat atau lambat akan diijabah Allah. Walau belum sepuhnya terbukti, tapi Ibu telah memperlihatkan bahwa uang banyak bukan segalanya. Banyak orang dengan uang yang cukup namun anaknya putus sekolah, namun walau hanya dengan pendapatan yang tak tentu, saya telah menamatkan jenjang sarjana, dua adik saya sedang di bangku kuliah, dan si bungsu duduk di kelas dua SMA.

Ibu telah menua, telah jelas keriput di dahinya, kakinya seringkali sakit dan bengkak. Jika sakit mendera, ia tak bisa berbaring lama karena ada anak-anak yang masih butuh tenaganya. Ingin sekali saya berucap “berhentilah bekerja”. Namun apa daya, ia harus tetap bekerja, dari pagi hingga malam hari. “Hingga kalian bisa mencari uang sendiri ibu akan berusaha tetap bekerja, sekarang fokus saja belajar, agar menjadi orang yang berguna,” begitu katanya. Saya tidak bisa memberi banyak, jangankan untuk menanggulangi kebutuhan ibu dan adik-adik, sekadar uang belanja untuknya pun kadang tak ada.

Kini saya telah menjadi wanita sebenarnya, seorang istri dan seorang ibu. Pilu hati ini jika mengingat bagaimana malasnya saya dulu, malas mencuci, malas memasak, malas membereskan rumah. Jelas saya merasakan bagaimana letihnya ibu mengurus saya dan keluarga. Barulah saya sadar kenapa dulu ibu suka marah melihat lemari saya berantakan, piring di sumur yang bertumpuk, pakaian kotor yang memenuhi kamar, atau memarahi saya karena memasak nasi yang sering keras dan lembek.

Kasih sayang ibu tidak berhenti setelah saya menikah dan ikut dengan suami. Saat sakit kontraksi ingin melahirkan mendera, Ibulah yang ada di samping saya, menunggui dengan sabar, mengelus punggung dan pinggang saya dengan lembut seraya menenangkan bahwa saya dan bayi saya akan baik-baik saja. Hingga saya harus dirujuk ke rumah sakit karena adanya infeksi dan harus dioperasi, Ibu mengelus rambut saya lalu berkata “ Semua akan baik-baik saja, Allah yang mengatur semua ini, ikhlas dan sabar ya nak.” Tidak ada tangis dari matanya, hanya kekuatan seorang Ibu yang membuat saya pun menjadi kuat. Alhamdulillah saya dan bayi saya selamat. Karena do’anya dan orang-orang yang menyayangi saya.

Pasca operasi, Ibu kembali mengambil peran. Ia tetap berjualan dan mengurus rumah, juga mengurus saya dan anak saya tanpa istirahat. Sungguh ia adalah wanita paling kuat yang pernah saya temui.

I wouldn’t be me if you hadn’t been you. THANKS MOM
Terimakasih Ibu, atas kasih yang tak terbatas, dan maafkan atas salah yang kadang membuatmu berduka. sungguh tiada tempat yang layak bagimu selain surgaNya. Aamiin…

Dia adalah malaikat tanpa sayap
yang telah dipilih Allah untukku yang lemah dan rapuh
yang menjaga dan mengasihi tanpa jeda
yang selalu bernyanyi dan tersenyum saat ku dipelukannya
hingga kurasakan hangat cintanya yang penuh bahagia
yang mengajarkanku mengeja kata untuk berdo’a padaNya
yang mempertaruhkan jiwa raganya demi melindungiku
yang menenangkanku kala duka mendera
Dia adalah malaikat dirumahku
Dia adalah Ibu
Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *