Sore ini sengaja aku duduk di beranda, menikmati luncuran kasih
sayang Allah yang turun perlahan dengan kehangatan dan kesejukan untuk
hamba-Nya yang senantiasa menanti rahmat dan hidayah. Aku tidak sendiri,
segelas teh rosella hangat menemani dengan aroma khas yang menawarkan
ketenangan. 


Hujan ini, aroma tanah basah juga teriakan bocah-bocah gang senggol
membuatku tersenyum sembari menahan haru. Ada kerinduan yang menjalari ingatan
tentang saat pertama rasa itu ada. Perasaan yang membuatku bertahan hingga
sekarang sebagai pembuktian bagi-Nya. Bahwa hidayah-Nya begitu kusyukuri.

It has been 10 years ago

Aku duduk di sebuah bangku kayu mengamati kerumunan siswa SMA
berseragam putih abu-abu dengan dandanan aneh yang membuat setiap orang yang
melihatnya tergelitik sehingga ingin tertawa. Aku sengaja menyendiri,
mengumpulkan sisa-sisa keberanianku untuk berbaur dengan wajah-wajah asing yang
sama sekali tak kukenali.


Ya, hari ini adalah hari yang sebenarnya tidak pernah aku inginkan,
Orientasi Siswa Baru. Pikiranku mulai membayangkan banyak hal aneh tentang hari
ini, hingga dadaku berguncang hebat juga keringatku tak henti bercucuran.


“Diberitahukan kepada seluruh siswa baru harap berkumpul di aula.”
Tiba-tiba mukaku memerah, ada ketakutan yang merasuk hingga sendi-sendiku rasa
kaku. Sebagian siswa berlari terburu-buru dan aku pun akhirnya perlahan menuju
aula sekolah yang cukup besar.


Semua terasa begitu cepat, aku telah bergabung bersama sekelompok
siswa lainnya. Kami dibagi dalam kelompok yang berjumlah sepuluh orang dan
diharuskan mencari tanda tangan kakak kelas yang sudah ditentukan. Aku menghela
nafas panjang, ini akan sangat berat.


***

“Coba goyang inul dulu!” mukaku merah padam mendengar ucapan
seorang senior berbadan gempal. Ia tertawa menyebalkan memperlihatkan deretan
giginya yang tak rata. Aku yang saat itu berada di barisan terdepan hanya bisa
menggeleng dan mengalihkan pandanganku pada teman-teman sekelompok. Mereka pun
hanya diam tak bisa berbuat banyak.


“Ayo, kalau mau tanda tangan goyang inul dulu, atau goyang apalah
pokoknya goyang, goyangnya itu di atas meja batu di depan taman. Kamu kan
gendut jadi pasti lucu.”


Ada sesak juga perih yang tiba-tiba saja menerpa mataku. Aku
menunduk menahan amarah karena diperlakukan seperti ini.


“Jangan mau ya. Jangan!” tiba-tiba ada suara lirih yang ternyata
berasal dari teman sekelompokku. Retno, perempuan berkerudung putih yang baru
saja kukenal.


“Saya tidak bisa kak.” Ucapku perlahan memberanikan diri.

“Murid baru sudah berani ngelawan. Hoi sini, ada anak baru yang mau
dikasih hadiah nih.” Lelaki yang tak ingin kuingat namanya itu malah memanggil
teman-temannya. Hanya tawa menyebalkan yang kudengar hingga akhirnya seorang
siswa kelas sebelas menarik lenganku menjauh dari kerumunan itu.


Aku menangis dihadapannya, di sebuah ruangan yang sangat nyaman dan
penuh kehangatan orang-orang di dalamnya. Ia memberikan tissue, memujukku untuk
menenangkan diri. Ia juga mengusap-ngusap pundakku, memberikan segelas air
putih lalu mengelus rambutku lembut.


“Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja.” Ia tersenyum
memperhatikan wajahku yang penuh dengan air mata.


“Makasih mba. Apa memang semua siswa baru diperlakukan seperti itu”
tanyaku terbata-bata.
“Tidak dek. Sudahlah, nanti mba yang akan mengingatkan mereka.
Sekarang masuk kelas saja, akan ada penjelasan dari wali kelas.” Jawabnya
lembut.


 Setelah yakin aku baik-baik
saja ia mengantarkanku menuju kelas lalu memberikan sebuah pembatas buku
bergambar seorang wanita berjilbab  dan
ada tulisan dibawahnya, QS: Al-Azhab:59. Aku mengucapkan terima kasih
berkali-kali untuk simpatinya.


Sepanjang jalan pulang sekolah ku amati pembatas buku yang ia
berikan. Kutanyakan pada Retno apa isi ayat yang tertera disana, tapi Retno
hanya tersenyum dan menganjurkanku untuk mengeceknya nanti di Al-Quran.
***
Aku dan Retno sengaja tidak langsung pulang ke rumah selepas pulang
sekolah. Ada festival Tabot yang berlangsung selama hingga sepuluh Muharram.
Jadi kami berniat untuk jalan-jalan sekaligus refreshing karena ospek telah
selesai.


“Kita ke sana yuk, ada pertunjukkan sulap.” Aku begitu antusias
hingga menarik lengan Retno.
“Nggak usah ah ya, disana terlalu rame.” Retno menggeleng.
“Sebentar aja. Please!” karena tak tega akhirnya Retno setuju untuk
mengikutiku. Walaupun ia berkali-kali mengingatkanku untuk tidak berdesakan.
Karena penasaran aku mendesak maju di dalam kerumunan


Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang mencolek bagian tubuh
belakangku. Aku menoleh ke belekang, namun orang itu langsung pergi. Aku keluar
dari kerumunan dan mencari-cari Retno.
“Kenapa Ya?” aku diam dengan muka memerah.
“Apa kamu baik-baik saja tadi di kerumunan orang banyak?”
“Ia, emang kenapa Ya? Ada yang mengganggu? Tanya Retno kebingungan.
“Aku mau pulang saja.”
***

Kuperhatikan titik-titik air hujan yang menjentik kaca jendela
kamar. Titik air itu semakin lama semakin banyak membentuk sebuah pola abstak
yang indah. Perlahan aku teringat pembatas buku yang diberikan mbak Putri,
kakak kelas yang siang tadi menolongku.


“Hai Nabi,katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri kaum
mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah di kenal, karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(Al-Ahzab:59)


Termangu. Keringatku mengucur deras memperhatikan deretan ayat yang
saat ini kubaca. Kuulang beberapa kali, hingga akhirnya aku menyender di dinding
kamar.


Hari ini, Allah menegurku. Allah mengajarkanku dengan cara-Nya. Dua
kali aku diingatkan, namun aku hanyalah seorang yang alpa hingga tak menyadari
betapa Allah begitu menyayangiku.
Ku eja ayat itu dengan getar yang membuncah, mataku sudah penuh dan
ingin tumpah.


“Astaghfirullah hal azim.” Hujan menderu dengan rindu yang kini
meliputi hatiku. Rindu untuk diriku yang baru, rindu untuk menjadi kekasih-Nya.
Sebuah rindu yang dijalari kasih Allah yang tak pernah kukira sebelumnya.


Kuakhiri sore ini dengan keinginan yang kuat. Untuk memperbaiki
diri dengan menjalankan apa yang Allah perintahkan, sehingga aku memang layak
sebagai hamba yang ia anugrahkan sebuah hidayah.
Bismillah.
Aku mendekati Ibu yang asyik menonton sinetron di ruang tengah.
“Kenapa kak?”
“Kalau kakak pake jilbab boleh nggak bu?” Tanyaku ragu. Ibu diam
lalu menyuruhku duduk di sebelahnya. Ia memperhatikan wajahku yang terlihat
pucat.
“Kenapa mau pakai jilbab?” Ibu bertanya lagi.
“Nanti saja kalau sudah dapat kerja baru pakai jilbab, kalau pakai
jilbab sekarang susah dapat kerja.” Perkataan Ibu membuatku tak bisa berkata
apa-apa, tidak ada perbincangan lebih lanjut sebelum akhirnya Ibu melanjutkan
menonton sinetron.
***
Berjilbab
tidak berarti kamu sempurna, tetapi semoga menjadi awal untuk membuktikan
kesungguhanmu menyempurnakan diri di hadapanNya (Asma Nadia)

“Menuju kebaikan itu pastilah ada
rintangan yang tidak mudah Ya, tapi yakinlah Allah selalu memberikan jalanNya
jika kita percaya. Ria Mustika Fasha yang mbak kenal pasti bisa meyakinkan Ibu.
InsyaAllah.” Mbak Putri, Ketua Bidang Kemuslimahan RISMA Surya Ramadhan itu
menguatkanku. Begitu juga teman-teman lainnya. Mereka malah menawarkan beberapa
jilbab koleksi mereka untuk ku kenakan jika aku belum mempunyai jilbab.

Aku tidak ingin kalah kedua kalinya
Karena  tidak semua orang yang beruntung diberikan
hidayah-Nya
Aku akan menjemputnya
Menjemput pelangi yang telah Allah
siapkan disana
Untuk semua penanti yang percaya
Bahwa Allah itu selalu ada
Untuk kita

“Kakak besok sudah mulai berjilbab
bu!” ucapku pasti membuat semua anggota keluarga termasuk ayah, tante dan
adik-adikku kebingungan tak percaya.
“Kakak? Pakai jilbab? Yakin? Tomboy
kayak gitu.” Goda adik perempuanku.
Aku mengangguk pasti.
“Bagus itu,” jawab tanteku menguatkan.

Hal yang tak pernah kuduga
sebelumnya, Ibu tersenyum lalu memelukku.
“Kemarin Ibu hanya menguji
kesungguhan kakak, karena setelah ini cobaan untuk wanita yang berjilbab akan
semakin berat. Harus terus memperbaiki diri agar menjadi muslimah cantik
akhlaknya.” Ah, aku sesenggukan mendengar apa yang diucapkan ibu.
Alhamdulillah, terimakasih Allah telah memberikan Ibu yang luar biasa.
Terimakasih telah memberikan teman-teman yang membuatku kuat, juga
kejadian-kejadian yang membuatku belajar tentangMu. Tentang kasihMu, juga
tentang rindu yang kini membuncah di hatiku. Bismillah, dengan sangat bangga
akhirnya aku mulai menjalankan perintah Allah untuk berhijab.
***
Menjemput pelangi adalah hal yang
akan selalu kulakukan dan kuusahakan hingga pelangi sebenarnya benar-benar
untukku, yaitu rahmat dan kasihNya. Aku menjalani proses yang indah, dengan
bantuan orang-orang yang aku yakin sangat disayangi Allah. Mba Putri, Retno dan
teman-teman RISMA mengajariku mengeja Al-Quran, mengkaji maknanya juga
mengajakku untuk berbagi bersama dalam sebuah mushola kecil yang penuh dengan
cahaya. Tidak ada paksaan, hanya senyuman ikhlas dan ukhuwah yang membuatku
kuat hingga saat ini.

“Bermetamorfosislah ukhti, menjadi
kupu-kupu yang cantik. Berproseslah dengan kasih sayang Allah. Dan yakinlah
selalu, jika kita selalu berusaha untuk membuat Allah mencintai kita. Maka
Allahpun akan sangat dekat, hingga hati selalu tenang dalam rahmatNya.”
***

 “Ibu Ria dengar kan apa kata Tia?” Muridku Tia
mengguncang bahuku pelan.
“Apa sayang, maaf Ibu melamun.”
Ucapku sambil mengelus rambutnya.
“Itu, ada pelangi!”
“Dimana?” tanyaku antusias.
“Itu dimata Ibu?”
Aku tersenyum lalu menyeka air mata.
Air mata yang penuh dimataku disirami seberkas cahaya matahari dan menyebarkan
spectrum warna yang dipahami Tia sebagai pelangi.



Alhamdulillah, terimakasih Allah
hingga saat ini aku masih merasakan getar rindu padaMu juga pada orang-orang
yang mengajarkanku tentang bagaimana mencintaiMu.

 Artikel ini diikutsertakan  dalam “Hijab Syar’i Story Giveaway”

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *