Gadget sering diibaratkan sebagai teman terdekat yang nggak bisa lepas. Kemana-mana harus dibawa. Survei terbaru menunjukkan, 66 % orang mengalami Nomophobia, sebutan untuk sindrom tak bisa hidup tanpa ponsel. (Sumber: wolipop.detik.com).
Yang kadang nggak habis pikir, gadget pun dibawa hingga ke toilet.
Yang kadang nggak habis pikir, gadget pun dibawa hingga ke toilet.
Gadget punya dua dampak. Baiknya sudah jelas, gadget dijadikan sumber
informasi dan komunikasi. Kalau buruknya, tergantung dari penggunanya
sendiri misalnya menjadi pribadi yang pendiam, menutup diri,
menyia-nyiakan waktu, bahkan bisa jadi phobia dengan dunia luar, kayak
si penulis Alexander Rover di film Nims’ Island itu loh. Nah, kalo
udah begitu bisa bahaya!
Saya sendiri termasuk orang yang nggak update soal gadget 😀 Bahkan sekarang, saat semua orang berlomba-lomba untuk punya blackberry, note, tablet, i-phone, smartphone dengan berbagai variasi, konten, dan kecanggihannya. Handphone saya masih handphone yang dikategorikan orang-orang sebagai “handphone jadul” yang setidaknya cuma bisa kirim pesan dan telepon saja.
Sempat terpikir untuk “meng-update” gadget yang saya punya, karena agak gimana gitu saat ditanyai soal pin bb, akun instagram, line, dll. Apalagi saat adik-adik saya sering cerewet melihat handphone yang saya gunakan sudah jelek tanpa diganti-ganti.
“Kak, ayolah ganti handphone itu dengan yang lebih bagus” Saya “nyengir” aja kalau sudah disinggung seperti itu. Bagi saya sebuah handphone cukup bisa sms dan telepon saja 😀 kalau soal online saya lebih senang menggunakan laptop, atau untuk foto saya lebih suka foto dengan kamera khusus, bukan handphone.
Bagi sebagian pengguna, kebutuhan akan gadget sudah seperti kebutuhan primer. Ada orang yang membutuhkan gadget karena konten yang ada didalamnya. contohnya adik saya yang notabane nya adalah reseller aksesoris online, jadi dia butuh gadget dengan konten pendukung lainnya seperti bbm, line, instagram, dll. Namun banyak juga orang yang membutuhkan gadget hanya sebagai trend atau untuk meningkatkan percaya diri mereka ketika berada dekat dengan orang lain. Bisa dibilang sebagai pelengkap agar tidak dikatakan kudet.
Lalu bagaimana dengan gadget yang sudah bundling dengan kontennya? Hmm… Bisa menguntungkan kok untuk penyedia layanan juga konsumen. Untuk penyedia gadgetnya toh bisa kerjasama dengan institusi lainnya yang bisa menghemat biaya pemasaran. sedangkan untuk konsumen juga nggak perlu repot-repot lagi untuk download konten yang diinginkan.
Kalo nggak salah awalnya strategi blunding ini sering dipake oleh perusahaan ponsel dengan operator telepon, juga ditambah dengan aplikasi lainnya seperti aplikasi untuk facebook, twitter atau jejaring social yang lain dengan harga yang murah. Jadi membludak deh konsumennya 😀
Sekarang sistem blunding udah semakin canggih, contohnya aja Syaamil Tabz atau Syaamil Note yang memberi kemudahan bagi umat muslim yang punya mobilitas tinggi namun tidak ingin meninggalkan ibadahnya. Kalau syaamil tabz sendiri adalah tablet yang didalamnya dilengkapi aplikasi built in islami paling lengkap. Aplikasinya ada banyak mulai dari Quran, tafsir, audio murotal, aplikasi haji dan umroh, e-book Islami hingga game untuk anak-anak.
source |
Sepertinya ini bisa jadi paket lengkap untuk pengguna yang membutuhkan gadget dengan aplikasi ibadah di dalamnya. Saya juga jadi tertarik dengan note/tabletnya. Jadi gadget yang kita punya bukan sembarang gadget namun juga punya nilai ibadah. Nggak cuma hanya gadget aja dengan kontennya yang kadang bisa melenakan.