“Menjadi wanita itu ribet”. Sejak remaja
seringkali melontarkan kalimat ini pada Ibu, bibi dan orang-orang terdekat
saya. Bukan tanpa alasan, namun melihat begitu banyaknya kesibukan seorang
wanita dalam kesehariannya, membuat saya jengah. Setiap hari saya dihadapkan
dengan kondisi Ibu yang sudah bangun sebelum subuh dan tidur larut malam,
selain mengurus ayah, saya dan ketiga adik saya, Ibu juga disibukkan dengan
berjualan untuk membantu ayah mencukupi kebutuhan rumah tangga.


Apakah wanita itu
begitu saja kerjanya? Tanpa mendengarkan pendapat orang lain saat itu saya
jatuh pada sebuah kesimpulan, kalau saya menikah saya tidak ingin punya anak
dan repot mengurus rumah. Saya ingin menjadi wanita karir yang bebas kemana
saja. Prinsip itu malah semakin menggerogoti pikiran hingga masa kuliah saya
benar-benar tidak mempunyai keterampilan sebagai seorang wanita. Jangankan
memasak menu spesial, menanak nasi di dandang saja tidak pernah beres.
Awalnya saya merasa
nyaman dengan “kesalahan persepsi” yang saya anut. Namun perjalanan hidup
mengubah semuanya. Titik baliknya ketika kegundahan tentang jodoh datang.
Perasaan saat itu jadi campur aduk. Semua lelaki pasti ingin mencari pasangan
yang baik. Baik akhlak dan perangainya. Saya bercermin diri. Apa iya ada lelaki
yang mau sama cewek urakan kayak saya, masak air gosong, masak nasi mentah,
gaya semaunya, ngurusin rumah nggak bisa. Lalu apa saya siap menjadi seorang
Ibu?
Kegundahan itu
membuat saya merenung. Mencoba memahami, kenapa diciptakan wanita dan lelaki? Kenapa
harus ada pernikahan? Kenapa menjadi wanita harus menjadi seorang ibu,
membesarkan anak, mendidiknya.
Seorang teman
tersenyum mendengar pertanyaan saya, lalu berkata “Segala sesuatu di dunia ini
ada maksud dan tujuannya, Allah nggak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia.”
Kamu harus berubah, menjadi istri dan ibu itu memang terlihat melelahkan, tapi
dibaliknya ada kebahagiaan yang tak bisa diganti dengan apapun.
Sejak itu saya
bertekad untuk #BeraniLebih menjadi wanita seutuhnya. Memang tidak mudah, tapi
saya yakin saya bisa melaluinya. Pasca menikah, saya berusaha untuk terus belajar
memasak, mengurus rumah. Walaupun suami tidak mempermasalahkan kekurangan saya
itu, namun bisa membuat rumah nyaman adalah kebahagiaan sendiri bagi saya.
Pilihan #BeraniLebih
lainnya yang saya ambil adalah meninggalkan pekerjaan yang saya geluti setelah
menikah. Sebuah pilihan yang dengan yakin saya ambil, karena tempat saya
bekerja tidak mengizinkan saya untuk hamil karena posisi saya yang saat itu
hanya karyawan kontrak dan hingga saat ini saya hanya menjadi ibu rumah tangga
dengan seorang anak yang selalu menyenangkan hati. 
Lalu apakah gelar
sarjana saya sia-sia? Sedangkan banyak teman seangkatan saya yang sudah melanglang
buana ke negeri orang, melanjutkan studi, dan punya karir yang bagus. Tentu
saja tidak, pilihan untuk #beranilebih menjadi wanita seutuhnya adalah pilihan
yang membuat saya bahagia dan bersyukur. Saya bangga menjadi seorang ibu rumah
tangga yang mendedikasikan waktu dan ilmu untuk mendidik anak yang saya
harapkan nanti akan menjadi orang yang bermanfaat bagi umat. Saya bahagia
menjadi seorang istri yang setiap hari bisa menyiapkan makanan yang saya masak
dengan tangan saya sendiri untuk keluarga.
Saya #BeraniLebih
Menjadi Wanita Seutuhnya, kalau kamu?
(476 kata)
 ***
Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *