Di Kampung Durian, tinggallah Keluarga Pak Stave yang kaya raya.
Mereka pindah dari Kota Jakarta ke kampung Durian karena ingin hidup dengan
nyaman. Walaupun Pak Stave kaya, ia begitu pemurah dan baik hati.. Namun,
anaknya yang bernama Diko sangat sombong dan jahat. Diko sering mengejek
anak-anak kampung rambutan yang menurutnya miskin dan bau. Diko juga termasuk
anak yang boros, barang-barang yang dibelikan ayahnya hanya ia gunakan selama
seminggu, setelah itu barang-barang itu dibuang ke gudang.
“Den Diko, boleh tidak sepeda yang den Diko buang ke gudang, mbok
Nah berikan pada anak mbok, dia ingin sekali punya sepeda,” Tanya Mbok Nah
suatu kali.
“Tidak boleh! Itu barang-barangku, tidak ada yang boleh
mengambilnya, Mbok Nah bisa kumpulkan sendiri uang untuk membelinya, makanya
jangan jadi orang miskin!” sedih sekali Mbok Nah mendengar jawaban dari Diko.
Begitu juga dengan Karyo, anak mbok Nah yang ingin sekali punya sepeda, tapi ia
tak punya uang untuk membelinya.
“Kalau begitu bolehkah aku pinjam mainan mu sebentar saja Diko,”
Tanya karyo ragu.
Diko dengan rasa tidak bersalah, lalu menghidupkan play station
nya dan bermain hingga tak tahu waktu. Tiba-tiba Diko kaget karena lampu di
rumahnya padam. Diko berteriak histeris karena ketakutan. Ia tidak bisa membuka
pintu kamarnya. Perlahan, ada sebuah cahaya yang muncul dari gudang penyimpanan
mainan nya di kamar. Semua mainannya itu bergerak dan memanggil namanya…
“Papa,, Mama… tolong….” Diko begitu ketakutan saat melihat salah
satu sepeda yang ia buang di gudang berputar putar mengelilinginya. “Diko… kau
jahat dan sombong… kau harus diberi pelajaran,” ucap salah satu handphone yang
juga mengelilingi Diko. Lalu Diko tak sadarkan diri.
Kepala Diko terasa berat saat ia membuka mata. Diko kaget bukan
kepalang menyadari ia sedang terbaring di sebuah gudang yang bau dan apek. Baju
yang Diko kenakan juga bukan baju bagus lagi, tapi baju compang camping. Ia
tampak kurus dan menyedihkan.
“Aku dimana!” teriak Diko ketakutan, perutnya pun terasa lapar.
“Hahaa… kamu sekarang ada di Negeri Pampara,” sebuah suara
mengejutkan Diko.
“Sii..siapa kamu… kenapa sepeda bisa bicara?” Tanya Diko.
“Sudah kubilang kau sekarang ada di Negeri Pampara, ayo ikut
denganku…” jawab sepeda itu.
“Tidak mau.. aku tidak mau menaiki sepeda jelek sepertimu,” 
“Ha! Kau lihat dirimu anak kecil… kau lebih jelek dariku, di dunia
ini kau adalah orang paling miskin, jadi jangan berani sombong!” Dengan
terpaksa ia mengikuti sepeda itu .Diko melewati sebuah ruangan yang begitu bagus,
ruangan yang dilapisi kaca itu dipenuhi oleh alat-alat yang sepertinya sangat
canggih dan tidak pernah Diko lihat sebelumnya.
“Alat-alat apa itu sepeda,” Tanya Diko penasaran.
“Itu adalah mesin fotocopy translator, jadi kalau kita memfotocopy
kertas bertuliskan bahasa inggris, tinggal tekan tombol yang bewarna kuning
untuk menjadikannya bahasa Indonesia,” jawab sepeda dengan tenang.
“Kalau yang itu apa,” Diko kagum sekali melihat dua orang anak
yang berbicara melalui kaca, setelah ditanyakan pada Sepeda ternyata anak-anak
itu berasal dari Negara yang berbeda. Ketika anak dari negeri India menuliskan
bahasa india di kaca, anak dari Indonesia akan langsung tahu artinya karena
tulisan di kaca yang tampak oleh anak dari Indonesia adalah Bahasa Indonesia.

“Wahh hebat sekali… bisakah aku membelinya,”
“Heh,, anak kecil, sudah ku bilang kau orang paling miskin disini,
bisa makan saja mujur,” Diko kembali tertunduk sedih, mengingat semua
perlakuannya terhadap Karyo.
“sekarang aku mau dibawa kemana?”
“Kau akan di daur ulang,!”
“Apa di daur ulang! Emangnya aku ini barang rongsokan apa!” teriak
Diko.
“Ia di negeri Pampara kau adalah manusia rongsokan yang harus
diperbaiki, supaya sikapmu tidak sombong lagi, kau akan dimasukkan ke dalam
mesin, dan kau akan diperbaiki,”
 
“Tidak….. aku tidak mau…” Diko turun dari sepeda lalu berlari
menjauhi sepeda. Ia sangat takut jika harus mengalami nasib seperti
barang-barang rongsokan yang di daur ulang. Pasti rasanya sangat sakit.
“Bisa-bisa aku mati,” ungkap Diko dalam hati.
Diko berlari sekuat mungkin melewati lorong-lorong yang tak ia
kenali. Tiba-tiba… bruk….Diko menabrak seseorang….
“Ka… karyo…” Diko gelagapan melihat Karyo mengenakan pakaian bak
seorang Raja.

“Siapa kamu! Kau pasti gelandangan yang di
kerajaanku,” jawab anak yang mirip Karyo itu.

“Karyo… ini Diko… tolong aku…” Diko menangis
meminta pertolongan.
“Siapa karyo? Aku Raja Pikuru , Raja negeri Pampara, cepat keluar
dari kerajaanku, atau kau akan ku penjarakan,”
 
“Maaf… maafkan aku… aku berjanji tidak akan jahat dan sombong
lagi.. aku janji…” tangis Diko semakin kencang. Ia tak menyangka, Karyo yang ia
hina sekarang menjadi Raja di sebuah negeri yang sangat hebat dan canggih.
“Memangnya kesalahan apa yang telah kau lakukan…!” Tanya Raja
Pikuru.

“Aku telah jahat dan sombong pada teman-temanku,
dan aku juga membuang mainanku yang masih bisa digunakan. Aku sangat menyesal,
dan aku tidak tahu kenapa aku bisa tersesat ke negeri pampara ini!” Karyo
tersenyum, lalu mengangkat Diko dari duduknya.
“Ayo ikut denganku,”
Diko diajak oleh Karyo untuk menaiki sebuah petakan kaca. Hanya
dengan menekan sebuah tombol di Kaca itu, Diko dan Karyo melesat seperti
menaiki sebuah pesawat. Diko diajak mengelilingi negeri Pampara. Negeri itu
sangat makmur dan canggih.
Walaupun negeri itu penuh dengan alat-alat teknologi, tapi
rakyatnya tetap melestarikan alam. Setiap rumah pasti setidaknya menanam dua
pohon, sehingga negeri Pampara begitu sejuk dan asri. Diko juga diajak ke pusat
teknologi Negeri Pampara, disana mereka mengolah bahan-bahan bekas untuk
menjadi barang yang lebih bagus, sehingga sampah tidak ada yang sia-sia.
“Wah hebat sekali, bagaimana ini bisa dilakukan, sampah plastic
bisa dijadikan tas, souvenir, hebat sekali…” berkali-kali Diko berdecak kagum
melihat setiap sisi negeri pampara.

“Ia, karena rakyat kami selalu memanfaatkan semua
yang ada biar tidak sia-sia, semua barang-barang itu walaupun mereka benda
mati, tapi kita harus jaga dan rawat, kalau tidak kita sendiri yang akan rugi,
selain itu rakyat negeri ini juga tidak sombong, karena masih ada negeri-negeri
lain yang lebih hebat dan maju dari negeri ini”Jawab Raja Pikuru bijaksana.
“Iya Karyo aku sangat menyesal,”
“Karyo!” Raja Pikuru geleng-geleng kepala, lalu menekan tombol
hijau di kaca yang membawa mereka terbang.
Tiba-tiba kepala Diko jadi pusing, ia tersentak… dan sekarang Diko
sudah berada di kamarnya. Diko menangis menyadari kesalahannya. Lalu ia berlari
menuju gudang penyimpanan mainanya. Dikeluarkannya semua mainan itu, dan
dibawanya kepada Pak Usro, pembantu dirumahnya.
“Pak tolong dibersihkan semua mainan ini ya,” ungkap Diko
“Untuk apa Den?” Tanya Pak Usro kebingungan. Diko
hanya tersenyum, lalu ia menyuruh Mbok Nah untuk memanggil karyo dan
teman-teman Karyo yang lain.
“Silahkan kalian ambil mainan yang kalian mau, dan rawat dengan
baik ya,” Diko tersenyum senang, karyo dan teman-temannya walaupun masih
kebingungan akan perubahan sikap Diko mengucapkan terima kasih. Mereka sangat
senang. Lalu memeluk Diko dengan haru. Diko juga jadi menangis menyesali
kesalahannya. Dari kejauhan terlihat Raja Pikuru yang melambaikan tangannya.
Diko pun tersenyum dan berjanji untuk merubah sifatnya.
 

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *