Royal Victoria
Park memancarkan sinar keemasan dari dedaunan yang berguguran. Musim gugur yang
eksotik dengan semilir angin dingin, hingga bisa menembus mantel tebal wanita
yang kini duduk di sebuah bangku kayu berwarna kecoklatan. Tampaknya ia mulai
kedinginan. wajar saja sudah hampir tiga puluh menit Ia tidak beranjak dari
sana.
 Keindahan taman yang diresmikan
oleh Putri Victoria ini rupanya tidak bisa mengobati kekesalan Rien. Jika saja
bukan karena menunggu Gie ia akan berkeliling sendiri di kota Bath ini, salah
satu kota tua di Inggris yang punya banyak tempat menarik untuk bisa
dikunjungi.
Tidak ingin lebih
lama menunggu, Rien menekan tombol di handphone nya
“Gie, jangan
biarkan aku menunggu hingga mati kedinginan disini. Jauh-jauh dari Indonesia
aku hanya duduk disini, sedang tempat-tempat istimewa yang dituliskan Jane
Austin menungguku!” tanpa basa-basi Rien menceramahi sahabatnya itu. Namun
kelang beberapa saat raut wajah Rien berubah iba.
“Apa? Maaf aku
nggak tau, baiklah aku akan pergi sendiri. Salam untuk mamamuj” Rien memukul
kepalanya, mengukutuki diri karena telah bicara kasar pada Gie. Suara Gie begitu
sedih, secara tiba-tiba ia harus pulang ke Indonesia karena Mamanya mendadak
sakit parah.
Rien menghela
nafas lalu membuka peta yang pernah diberikan Gie padanya. Ada beberapa tempat
yang ingin ia kunjungi di kota Bath yang dulunya bernama Aquae Sulis.
Bath sangat terkenal dengan pemandian air panasnya, untuk itu Rien berencana
mengelilingi kota Bath dan akan singgah ke Roman Bath untuk merasakan sensasi
mandi yang banyak dibicarakan orang-orang.
Setelah
menimbang-nimbang Rien akhirnya memutuskan untuk mengunjungi
The Royal Crescent Building yang tak jauh dari
Victoria Park
, bangunan ini bergaya arsitektur Georgian yang sangat
antik. Rien berdecak kagum mengamati lengkung bangunan yang seperti bulan
sabit. Memang hanya apartemen yang terdiri dari 30 rumah dalam posisi bulan
sabit dan dirancang oleh arsitek John Wood the Younger,namun menjadi istimewa
karena dulu Pangeran Frederick pernah tinggal di salah satu kamar apartemen
ini.
***
credit

@ Pulteney Bridge.
Rien menyesali ia harus menikmati petualangan ini
sendiri. Rasanya kurang menyenangkan berwisata tanpa teman bicara. Kini ia
hanya termangu mengamati Sungai Avon dari atas jembatan, sungai ini melintasi
kota Bath dengan bendungan kunonya, sangatindah dengan hamparan pohon-pohon
menguning di tepian sungai. Biasanya di saat-saat seperti ini Gie akan sibuk
mengambil foto dan meminta Rien untuk menjadi modelnya. Namun kenyataannya ia
harus rela bernwisata sendirian
Rien berjalan
perlahan, namun tiba-tiba ia menabrak seseorang lelaki tua. Lelaki itu
tersungkur dan tongkatnya terhempas. Rien cemas dan mencoba membantunya.
“Maafkan saya, uhm..
I’m sorry, saya tidak sengaja.” Ucap Rien gugup dengan bahasa inggris yang
terbata. Lelaki tua itu berdiri membungkuk. Wajahnya sayu tanpa senyuman.
Ditatapnya Rien dengan tajam.
“Riena! Kamu
akhirnya kembali, sudah bertahun-tahun aku menunggumu.” Raut wajah lelaki tua
itu seketika berubah ceria, digenggamnya tangan Rien yang dingin. Rien semakin
kebingungan. Wajahnya pucat pasi. Banyak hal negative yang melintas
dipikirannya hingga sebuah dentuman keras terdengar jelas, lalu Rien tidak bisa
mengingat apa-apa.
***

“Riena bangun…”
sebuah suara mengejutkan Rien. Ia tidak yakin sekarang berada dimana, karena
tubuhnya terbaring di hamparan rumput basah. Hari telah gelap dan samar-samar
ada bayangan seseorang di sampingnya. Rien mencoba duduk walau merasa badannya
terasa sakit.
“kamu siapa,” Rien
ketakutan melihat seseorang lelaki berpakaian jadul menatapnya cemas.
“Hei, kamu kenapa?
Aku Frans, Frans Fernandes jangan bilang kamu lupa ingatan.” Lelaki itu
tertawa.
“Frans? Tapi aku
tidak punya teman yang namanya Frans.”
“hello aku adalah
satu-satunya temanmu, dan akan tetap jadi temanmu. Ayo bangun dan kita harus
segera bersembunyi sebelum penjaga ayahmu menemukan kita!” Rien bangkit dan
mengikuti lelaki yang bernama Fran situ. Rien tidak bisa mengingat apa-apa dan
tidak mengerti kenapa ia bisa ada di hutan gelap yang begitu sepi ini. Rien
tidak mengelak hingga akhirnya Frans mengajaknya ke sebuah bangunan toko kue
bertuliskan Sally Lunn Cakes.

credit

“Kita akan
bersembunyi di tempat Sally, dia orangnya baik!” Frans mengedip pada Rein. Rein
tergagap. Bagaimana mungkin!
“Sally? Masih hidup?
Yang benar saja, gila kamu. Lagenda Sally itu sudah lebih tiga ratus tahun yang
lalu.” Rien tertawa tak mengerti.
“Kamu yang gila,
jelas saja Sally masih hidup. Dia baru saja pindah dari perancis dan menempati
bangunan ini. Kue buatannya sangat enak, dan kamu juga menyukainya.”
“Frans, tahun berapa
ini?”
“1681. Memangnya
kenapa?” Rien merasa sangat pusing. Ia terjebak di masa lalu. Kalaupun ini
mimpi ia ingin cepat-cepat terbangun.
***

Rien menegak habis
teh yang diberikan Sally. Dalam pembicaraan mereka sejauh ini Sally dan Frans
mengatakan jika Rien melarikan diri dari rumahnya karena tidak tahan terus
dikekang oleh ayahnya yang termasuk orang terpandang di Aqua Sulis atau Bath.
Hal lain yang membuat ayahnya murka adalah Rien masih terus berteman dengan
Frans yang merupakan anak pembantu di rumahnya. Karena tidak ingin kebingungan
sendiri, Rien akhirnya juga menceritakan jika ia berasal dari tahun 2014.
“ini benar-benar
membingungkan, bagaimana mungkin seseorang dari masa depan bisa kembali ke masa
lalu? Rien menggelengkan kepala tanda ia tak mengerti apapun.
Frans memberikan
selimut tebal kepada Rien yang terlihat mulai mengantuk. Rien menyandarkan
tubuhnya di sebuah sofa beludru. Dilihatnya Frans yang sibuk menambah kayu
bakar. Ia tiba-tiba teringat Gie, sahabat yang sering ia buat susah. Hmm, ia
berjanji jika semua ini berakhir akan menjadi sahabat yang baik untuk Gie.
“Kau jangan takut, aku ada untukmu. Sekarang tidurlah”
Frans tersenyum dan membuat Rien lebih tenang.
“Kembalikan anakku.”
Teriakkan keras mengejutkan Rien, bergegas ia menuju ke pintu depan dan
segerombolan lelaki berbadan kekar siap-siap hendak memukul Frans. Sally yang
juga berada disana mencoba melerai dan menjelaskan. Karena tidak ingin ada yang
terluka Rien akhirnya mendekat.
“Aku akan pulang,
dan mereka tidak salah.”
“Kau mengecewakan
ayah, sebagai hukumannya kau akan kembali ke Roma,” lelaki berkumis yang kata
mereka adalah ayah Rien, menarik lengan wanita itu dengan kasar.
“Jangan bawa Riena”
Frans memberontak dan berusaha menarik Rien kembali. Terjadi perkelahian dan
darah mengucur dari bibir Frans. Rien melepaskan pegangan di lengannya, dan
menghambur hingga sebuah pukulan mendarat di mukanya. Tubuh Rien sempoyongan
namun ia masih bisa melihat wajah sedih Frans dan Sally juga ayahnya yang
segera membawanya pergi.
“Aku akan menunggumu
Rien, sampai kapanpun.” Sayup-sayup suara Frans menggema ditelinganya. Hingga
semua menjadi gelap, dan Rien kembali tertidur.
***

“Kau sudah sadar nak?” Rien terbangun dan mendapati
dirinya tergeletak di sebuah bangku kayu. Lelaki tua yang tadi ia tabrak
tersenyum. “Kau tadi pingsan, sehingga aku bawa kesini.” Rien memperhatikan
sekelilingnya, semuanya telah kembali seperti semula, sepertinya kejadian tadi
hanya ilusi.
“Terimakasih sudah
membantuku pak, maaf merepotkan!” Rien menjabat tangan lelaki tua yang sudah
mulai keriput itu. Lelaki itu tersenyum lagi, dan tanpa diminta memberikan
kartu namanya.
“Jika kau tidak
punya teman mengililingi kota Bath, aku bisa menemanimu.” Setelah berpamitan
lelaki tua itu pergi. Dengan seksama Rien membaca kartu nama yang diberikannya.
Seketika jantung Rien berdetak keras, tertulis nama Frans di kartu itu. Frans
Fernandes. Tidak mungkin!
Rien menghempaskan
tubuhnya. Menghela nafas yang dalam dan memejamkan matanya lama. “Ini hanya
kebetulan.” Gumamnya sembari menebak tekateki di kota tua Bath yang ,[ masih
anggun dengan keindahan musim gugurnzya.

  
Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *