Bengkulu diguyur hujan. Titik air penuh
berkah itu tak sengaja jatuh di pipiku, sensasi dingin menjalari. Perlahan
kubentangkan tangan, mencoba menampung kesejukannya.
“Kira… 
pasti mau mandi hujan lagi kan?” hampir berlari kulihat Mbak Arin keluar
dari Radio, menyuruhku untuk menghindar dari guyuran hujan. Hanya kujawab
dengan senyum tertahan. “Ayolah ini Cuma masalah cowok  kamu nggak boleh kayak gini. Dimana Kira yang
bersemangat?!” aku diam lagi, Mbak Arin benar. Aku harusnya tidak terpuruk.
“Ada yang bisa kita lakukan untuk buat kamu
semangat lagi.”
“Apa?” tiba-tiba aku jadi antusias.
“Hicking, Dempo? Gunung tertinggi di
sumatera selatan 3.195 mdpl dan menantang. Kamu pasti suka.” Mba Arin terkekeh.
“Boleh, tapi aku mau besok.” Ujarku
menantang.
“Oke, siapa takut. Awas kalau kamu besok
nggak datang, mbak tunggu di terminal bus Sarana Sakti jam 7 pagi.” Aku hampir
tak percaya Mbak Arin seserius itu.

Esoknya aku tiba di terminal bus pukul
tujuh, Bus Sarana Sakti sudah mulai parkir dan memanggil penumpang. Di luar
ekspektasi ku yang mengharapkan perjalanan yang menyenangkan, namun malah
sebaliknya. Kami punya tambahan personil lainnya, Mbak Yasmin yang cerewet dan
Mas Rinto yang suka menggombal, serta penumpang bus yang semaunya bawa ayam dan
sayuran menyengat. Lengkap sudah!

Setibanya di Pagar Alam pukul 3 sore kami
langsung menuju rumah Mba Arin. Mabuk perjalananku langsung hilang ketika
disajikan pempek khas Palembang kesukaanku, ditambah dengan segarnya teh asli
Pagar Alam.

 “Dek
Kira yakin mau tetap naik nih, padahal kan demam.” Tanya mas Rinto mencemaskan
kondisiku yang alergi karena perubahan cuaca, badanku memerah dan sedikit
lemas.
“Yang bener aja mas udah sejauh ini terus
aku nanti ditinggal sendirian”
“Hahaha, ya udah adikku ayo cepat naikkan
barang ke mobil keburu siang nanti.” Ujar mba Arin.

Ditemani Gilang dan Ardi sepupu mbak arin
kami kami menuju ke Gunung Demp  dengan menggunakan
mobil dulu untuk sampai di pos awal yang dikenal dengan Tugu Rimau.Mabukku sedikit
berkurang karena perjalanan kali ini aku melihat hamparan kebun teh yang luas.
Berwarna hijau cerah, Jalannya berkelok dan sesekali kulihat petani teh
tersenyum ramah.

 “Apa
yang dilarang di gunung ini Lang,” tanyaku antusias pada gilang.
“Yah seperti layaknya kita mendaki gunung,
tidak boleh mengambil apapun selain foto dan tidak boleh meninggalkan apapun
selain jejak.” Gilang menjelaskan dengan serius.

setelah melapor di Pos, kami mulai
mendaki dengan tidak lupa berdo’a dahulu. Gilang memimpin pendakian.
Sepanjang perjalanan menuju shelter 1 kami dikelilingi pepohonan yang masih
sangat asri dan jalanan yang cukup terjal. Trek di Gunung Dempo cukup
menantang. Jalan setapak penuh dengan akar yang melintang, kemiringan lereng
sendiri cukup curam untuk memeras keringat.
Entah kenapa aku ingin melihat kebelakang,
namun tiba-tiba kepalaku terasa pusing, ada kabut yang begitu tebal di
penglihatanku.
“Kalau mendaki tidak usah melihat kebelakang Kira! Nanti kamu
pusing”Aku mengangguk, namun aku tidak tahan lagi dan secara tiba-tiba aku
muntah. Mba Yasmin memberikanku teh hangat hingga merasa membaik.

“Tetap tenang ya, jangan pikirkan
macam-macam. Ayo kita lanjut lagi, nanti di shelter 1 baru kita akan makan.”
Mba Arin merangkulku Hingga aku bisa berjalan sendiri.
Perjalanan menuju Shelter 2 hingga ke
puncak agak terasa berat. Jalan setapak yang mulanya tidak terlalu sulit kini
dipenuhi dengan kerikil dan bebatuan. Area yang menurutku begitu sulit adalah
ketika kemiringan jalan yang kami harus lalui mencapai 90 drajat, yang berarti
harus menggunakan tali tambang untuk menaikinya. Dibantu oleh Gilang dan Ardi
akhirnya kami bisa melewatinya.

“Allahuakbar, ini benar-benar best
adventure mbak,” teriakku bersemangat. Yang lain malah tertawa.  Kami juga menemukan bunga panjang umur yang
katanya tidak akan layu jika sudah mati.
Kami terus berjalan Hingga memasuki daerah
dengan vegetasi
tumbuhan
berpohon rendah dan semakin rendah, beberapa daerah agak terbuka, pandangan pun
menjadi luas.

“Teman-teman. Kita memasuki daerah yang
dipenuhi dengan lumut. Yang berarti sebentar lagi kita akan sampai di top
dempo.” Gilang tersenyum misterius. Benar saja, saat melihat semua pepohonan
dan bebatuan dihinggapi lumut berwarna coklat kehijauan, kudukku tiba-tiba
merinding. Terbayang film-film misteri di kepalaku. Namun langsung kuhilangkan
agar tidak mengganggu perjalananku. Tak lama berselang, kami tiba di top dempo.
Puncak pertama Dempo ternyata dataran masif, yang itumbuhi tanaman yang rendah
mirip perdu. Dari puncak pertama ini kami turun kembali ke lembah yang diapit
oleh puncak pertama dan puncak utama.  Ada
beberapa pendaki dari Lampung dan Riau yang kesemuanya laki-laki.

“Puncak Dempo memang hanya dataran masif,
yang menganggumkan adalah Top merapi disana. Karena sudah sore, kita ke Merapi
besok pagi, biasanya kawah terbuka di pagi hari. Sekarang kita bikin perkemahan
ya, yang mau bersih-bersih ada mata air di ujung sana.” Ardi menunjuk ke arah 

“Subhanallah airnya membeku,” sorakku pada
yang lainnya. Mata air yang disebutkan ardi ini sebagian telah membeku seperti
bongkahan es. Airnya sangat jernih dan dingin, namun saat aku meminumnya agak
terasa kecut dan asam.“Airnya asam karena rembesan belerang. Tapi semoga kita
nggak sakit minumnya. Hehe.. Baca bismillah jangan lupa.” Ucap Mba Arin.

***
Malam harinya kami tidak bisa tidur, angin
bertiup kencang diiringi hujan, kami kedinginan di dalam tenda karena tidak
bisa membuat api unggun. Syukurlah kami bisa bertahan hingga pagi menjelang.
Pendakian kepuncak utama tidak terlalu
sulit. Lerengnya terdiri dari kerikil dan batu-batu dengan kemitingan sekitar
40°, cukup stabil untuk didaki. Puncak utama gunung Dempu Merupakan kawah
gunung berapi yang masih bergejolak. Dinding kawah cukup terjal dan tidak
mungkin bisa dituruni tanpa batuan tali temali. Pemandangan dari puncak sangat
mengasyikan. Selain kawah yang memberikan kesan khusus, tampak juga terhamparan
provinsi Bengkulu dengan hamparan lembah yang sunyi dan hening.  Mas Rinto mengambil posisi dan melantunkan
adzan dengan merdu, kami mendengarkan dengan khusuk dan setalah itu sujud
bersamaan. Begivftu besar keagungan sang Pencipta. Begitu kecilnya kami di
hadapan-Nya.

***
Setelah cukup puas mengambil foto, akhirnya
kami mulai untuk turun. Ada kejadian yang membuat kami begitu cemas. Di tengah
perjalanan, Mba Arin merasa tubuhnya kaku dan lemas. Ia tidak bisa berjalan,
sehingga secara bergantian Ardi dan Gilang menggendong.

“Kira dengan Mbak Yasmin tolong bawa tas
ini ya, kalian turun dahulu. Ikuti saja tali kuning yang sudah kita pasang”
Kami menuruti keinginan Gilang.

Aku dan Mbak Yasmin berusaha secepat
mungkin untuk turun. Bahkan kami menggelindingkan tas bawaan agar tidak terlalu
berat dan bisa segera tiba. Kecemasan ternyata bertambah saat di tengah
perjalanan, tim pendaki dari Lampung berbalik lagi ke atas karena kehilangan
dua teman mereka. Syukurlah, kami bisa segera tiba di Tugu Rimau dan melapor ke
penjaga sehingga bisa membantu Mbak Arin untuk turun.

“Bagaimana Kira? Kamu masih nggak
semangat?” walaupun masih lemas Mba Arin terus menggoda
“Nggak lah, gunung lebih menggiurkan dari
laki-laki.” Ucapku sembari tertawa keras.

Petualangan di Gunung Dempo ini benar-benar
mengasyikkan. Banyak kejadian yang akhirnya bisa ku ambil hikmah. ada beberapa
rahasia yang sengaja tak kutanyakan di perjalanan kepada teman-teman.
Diantaranya aku mendengar suara orang membaca Al-Quran saat perjalanan turun,
dan aku memperhatikan sepanjang perjalanan kami diikuti oleh lalat . Hingga suatu
waktu aku tanyakan pada Gilang. Ia hanya terkekeh. “Kalo lalat itu keponakan,
kalau kamu dengar orang mengaji berarti Alhamdulillah, daripada aku dengar
suara raungan motor!” kami berdua terkekeh dan berjanji suatu saat nanti akan
kembali mendaki Gunung Dempo, a mountain to remember!
Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *